Rabu, 24 Februari 2016

Ketika Sumenep menjadi Gudang Para Penyair?

RATUSAN budayawan senior dan penyair muda berkumpul di pendopo agung Kabupaten Sumenep, Madura. 

Mereka terlihat bercengkerama dengan akrab dan saling bertukar ide tentang dunia kepenulisan dan kepenyairan.

Sabtu, tanggal 20 Februari 2016 itu merupakan peluncuran buku Ketam Ladam Rumah Ingatan, antologi puisi penyair muda Sumenep. 

Di acara tersebut, hadir para budayawan muda Sumenep baik yang berdomisili di Madura dan di berbagai daerah lainnya, untuk berbagi pengalaman seputar kesusastraan.

Hari itu Syaf Anton, kurator  buku menjelaskan di hadapan para penyair dan masyarakat yang memadati Pendopo Agung Sumenep.

Menurutnya, buku antologi tersebut adalah kumpulan karya penyair muda Sumenep yang lolos seleksi. 

Panitia memilih karya bukan nama penyairnya, sehingga karya yang terpilih adalah puisi yang layak untuk diapresiasi.

Syaf Anton mempertegas bahwa para peserta yang mengirimkan karya dan tidak masuk antologi janganlah berputus harapan dan tetaplah berproses dan berkarya.

Terlebih, Sumenep dianggap sebagai barometer kesusastraan serta dikenal sebagai gudang dan lumbung para penyair di Madura.

“Jangan terburu-buru dalam menerbitkan buku. Mantapkan kualitas agar pembaca memahami dan menikmati. Biarpun hanya menulis satu buku tetapi berkualitas. Maka itu akan menjadi karya monumental,” imbuhnya.

Pada kegiatan tersebut dilanjutkan dengan peluncuran buku dengan narasumber, Jamal D Rahman, Pimred Majalah Horison, serta M Faizi, penyair,  dan Raedu Basya hadir sebagai moderator.

Tak hanya itu, para peserta juga menikmati lomba baca puisi di tempat yang dipersembahkan oleh panitia. 

Saat Sumenep menjadi gudang para penyair. Maka inilah kekayaan Madura yang tidak boleh dilupakan. Benarkan?

#Reportase Fendi Chovi 

(dimuat di Tribunnews.com)

Minggu, 14 Februari 2016

Para Penentang Hari Valentine

Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dibuat heboh dengan kedatangan Hari Valentine yang jatuh pada Sabtu, (14/2). Perayaan Valentine mendapatkan penolakan keras dari sejumlah umat muslim. Berbagai aksi digelar untuk menolak perayaannya.

Hari Valentine dianggap lebih condong menjadi ajang menabur kemaksiatan di kalangan pemuda daripada menebarkan kasih sayang yang sebenarnya. Lalu apa yang salah dari Hari Valentine sehingga memunculkan reaksi sengit dan penentang itu?

Ternyata, tradisi perayaan Hari Valentine menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. tidak sedikit para pemuda merayakan hari itu bersama pasangannya. Kaum muda akan selalu berbicara cinta dan kasih sayang sesuai  selera dan kemauannya.

Meski itu kadang bertentangan dengan aturan halal dan haram dalam agama islam. sebenarnya, inti perlawanan dan penentangnya tersebut karena hari valentine lebih banyak membuat pemuda terbawa arus gelombang kebebasan, mengumbar hawa nafsu daripada menabur kasih sayang yang sebenarnya.

Kasih sayang yang menguatkan, memberikan kenyamanan, dan perlindungan. Maka, anjuran menolak Hari Valentine pun marak. Karena, selain tradisi ini besarl dari luar islam, tradisi ini juga mencampurbaurkan antara yang halal dan haram dalam konteks hubungan anak manusia. Dalam islam tidak ada aturan merayakan hari kasih sayang pada hari-hari tertentu sebab kasih sayang harus tetap dirayakan setiap hari, dalam suka atau duka. Kasih sayang tetap harus disebarkan. Nah, dalam konteks hari Valentine, kasih sayang tersebut justru disalahgunakan karena lebih bermuatan kemaksiatan daripada merayakan cinta.

Tentu merayakan kasih sayang karena unsur cinta kepada pasangan adalah sesuatu yang dianjurkan dan ini akan berbuah pahala. Tetapi, berbagi kasih sayang kepada seseorang terlebih yang mah belum ada ikatan pernikahan merupakan salah satu ujian terberat keimanan seseorang.

Felix Y Siauw dalam bukunya Udah Putusin Saja menyampaikan bahwa punya cinta tidak berarti harus mengumbar cinta, kan? Mencinta tidak berarti membolehkan segala yang dilarang Allah SWT, kan?

Itulah sebabnya perayaan Hari Valentine harus ditentang. Perayan ini bukan saja membuat cinta hanya sebagai komoditas- lewat hadiah-hadiah, cokelat, bunga, lilin, dan berbagai jenis lainnya  melainkan juga membuat semangat penyimpangan dalam generasi Muslim menjadi semakin parah.

Ustad Anis Matta dalam buku Serial Cinta menulis bahwa inti cinta adalah pelajaran bagaimana menjadi lebih baik dan berkesinambungan. Tentu merayakan cinta merupakan sebuah upaya agar cinta bertambah lebih menyenangkan dijalani dan dilalui, dan cinta pun akan tumbuh bersemi.

Tetapi, merayakan cinta lewat momentum apalagi terpaku pada sesungguhnya membuat cinta hanya sebagai tradisi. Padahal, cinta harus dirayakan setiap hari. maka tak salah kalau merayakan cinta di lahan yang salah. Tentu ini sebuah penyimpangan, bukan?

Bagaimana menurut Anda?

NB : Tulisan ini pernah dimuat di kolom Harian Republika. Saya lupa tanggalnya, tks. 

Dongeng bukan Sekadar Tradisi Lisan

TIDAK banyak masyarakat yang berpikir kritis tentang keberadaan dongeng dan menganggapnya sebatas tradisi lisan. Padahal, dongeng juga digunakan sebagai upaya melegitimasi wacana untuk mengekalkan kekuasaan dan memberikan pengaruh pada suatu simbol tertentu. 

Demikian ujar Henry Nurcahyo, budayawan, saat mengisi dan membincangkan dongeng pada diskusi Kearifan Lokal dan Rekayasa Budaya pada dialog budaya forum Budaya dan Sastra (Bias), Sumenep, Madura.

Dihelat di rumah budaya Art Galery, Sumenep, Senin, 8 Februari 2016 silam, diskusi dihadiri puluhan pecinta buku dan budaya.

Henry Nurcahyo, penulis buku dan sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur ini hadir dan menegaskan pengaruh tradisi lisan yang sudah mengakar dan ikut memengaruhi nilai kearifan lokal di tengah kehidupan masyarakat.

Menurutnya, untuk mengetahui perkembangan sejarah, sejatinya tak hanya harus melihat artefak ataupun teks, tetapi tradisi lisan yang diceritakan dan berkembang di masyarakat harus juga dilihat.

Bahkan, tak jarang pengaruh tradisi lisan pun lebih dominan dan memengaruhi cara berpikir masyarakat tentang pembenaran suatu hal yang jarang dipikirkan manusia.

“Banyak orang terhegemoni dengan peribahasa dan dongeng yang akhirnya membuat diri kita menjadi masyarakat terpinggirkan,” ujarnya di hadapan peserta.

“Buktinya, coba pikirkan, keberadaan cerita Panji yang sampai harus dibuat relief pada candi dan menjadi cerita negara di masa kejayaan Majapahit. 

Bahkan, cerita Panji pun menyebar ke negara asing. Di Thailand, cerita Panji dikenal dengan sebutan Inao dan Eynao,” jabarnya.

Henry pun menulis buku berjudul Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo dan Memahami Budaya Panji sebagai bahan diskusi. 

Kini Henry gencar mengingatkan masyarakat agar kritis saat membaca dan mendengarkan dongeng yang kadang kontennya digunakan pemerintah dalam membenarkan suatu peristiwa. 

Sehingga tak jarang dongeng di masa dahulu kerapkali digunakan serta diperalat sebagai wacana untuk mengenalkan kekuasaan para penguasa.

Fendi Chovi (Dimuat di Grup Tribunnews)