Jumat, 13 Oktober 2017

Berbeda dan Berada di Ruang dan Waktu yang Sama, Apa yang Kau Lakukan?

Reportase Fendi Chovi
Blogger/tinggal di Dungkek, Sumenep


SEJUMLAH perwakilan komunitas dan organisasi daerah mengikuti training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas, di Klenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, Selasa-Jumat (11-14/7/2017).

Diinisiasi Gusdurian, Jombang, Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Kegiatan ini memberikan kesempatan anak-anak muda mempelajari dan menyelami isu-isu tentang keragaman dan radikalisme.

Di awal sesi, Aan Anshori, fasilitator dari JIAD, menyinggung keterlibatan pemuda menjadi bagian dalam gerakan perdamaian dan menolak radikalisme serta memperkaya materi dengan diskusi kelompok, lalu mempresentasikannya.

 
Bersama Peserta Terpilih Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman
di Klenteng, Hong San Kiong, Gudo, Jombang

Penrad Siagian dari PGI, fokus membahas analisis sosial menyangkut radikalisme dan sumber pemicu lahirnya radikalisme dalam agama.

"Kita harus mampu memetakan persoalan radikalisme dengan memanfaatkan analisis SWOT, sebagai agen komunitas perdamaian yang peduli dengan isu keragaman dan kebhinnekaan," tuturnya.

Ia menyinggung peran pemuda harus lebih signifikan terutama dalam memahami gejala-gejala sosial dan melihat faktor-faktor terjadinya radikalisme berbasis agama.

Dilanjutkan Amin Siahan, peserta harusnya terlibat dalam diskusi soal memenangkan kampanye perdamaian melalui penggunaan media sosial untuk menggalang dan menjaring komunitas perdamaian di setiap daerah.

Upaya memahami intoleransi dikemukakan Roro Wahyuningtyas. Ia memberikan tabel untuk mengukur kadar intoleransi keluarga dan komunitas. Tak hanya itu, upaya menggerakkan anak-anak muda terlibat aktif sebagai penggerak perdamaian dikemas dengan forum group discussion untuk membuat proyek agenda kegiatan berkelanjutan.

Peserta juga menikmati sesi field trip ke rumah ibadah dan komunitas keagamaan, menziarahi makam KH Abdurahman Wahid, ke Tebuireng, berdialog di Gereja Kristen Jawa Wetan Mojowarno, serta Pura Amarta Bhuana, Ngepeh, Jombang.

Lewat kunjungan diharapkan para anak muda lebih intensif berdiskusi serta berdialog dengan para pemeluk agama lain dan mendengarkan cerita penuh perjuangan dari komunitas keagamaan yang terdiskriminasi dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Tak hanya itu, peserta juga berkesempatan merasakan live in, berupa tinggal bersama dengan warga setempat yang berbeda keyakinan. Peserta muslim di tempatkan di rumah warga non muslim. Sebaliknya, peserta non muslim tinggal di rumah warga muslim.

Ke depan, peserta juga terlibat dalam penulisan buku seputar pengalaman mereka berdiskusi dan berdialog yang didapatkan selama acara serta menjaring komunitas daerah agar berkolaborasi dalam agenda dialog antar iman. Keren kan?

Senin, 10 Juli 2017

Suatu hari bersama Aan Anshori

 


SAAT tiba di Klenteng Hong San Kiong, di Gudo, Jombang pada acara "Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas"  yang akan berlangsung selama tiga hari.

Peserta yang datang baru dua orang. Aku termasuk peserta kedua yang menginjakkan kaki di Klenteng (yang katanya telah) berusia ratusan tahun ini.

Di sana, aku berjumpa dengan Aan Anshori, salah satu fasilitator dalam kegiatan ini. Kami ngobrol bertiga sambil menunggu peserta lain datang. Topik yang kami bicarakan mengenai internet.

"Kamu suka nulis, kan?" tanya Aan Anshori.

"Soalnya, aku sempat menemukan beberapa tulisanmu dan namamu di internet," tuturnya kepadaku.

Aku sangat senang dan tersenyum mendengar ada orang menemukan tulisanku di internet. Telingaku seolah melebar sedikit sebagai ekpresi rasa bahagia.

Percakapan dengan Aan dilanjutkan saat kami sama-sama berjalan kaki menuju ke salah satu rumah pendeta yang tidak jauh dari Klenteng untuk acara wellcome Dinner dan ramah tamah.

Aku berjalan di samping Aan. Kami ngobrol kembali. Di sela-sela obrolan itu, Aan menyisipkan sepotong kalimat motivasi tentang manfaat kebiasaan menulis.

"Menulislah karena itu sangatlah penting sebagai sarana untuk aktualisasi diri, pas upload ke internet," ujarnya.

Aan menegaskan bahwa kebiasaan menulis itu menjadikan diri kita mudah untuk saling terkoneksi satu sama lain, terutama anak-anak muda yang juga menyukai budaya literasi ini.

"Saat kita memiliki gagasan yang sangat berharga dan itu penting untuk diketahui publik. Tulislah !" Ujarnya, sambil berjalan.

"Dan ini perlu diingat, saat nama belakangmu tidak membawa sosok nama besar, seperti Wahid, maka menulislah!" kata Aan.

Siapa itu Wahid? Yaitu nama belakang Kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Nasihat yang diungkapkan Aan Anshori itu, sebenarnya juga ditegaskan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.

"Jika kamu tidak terlahir sebagai putera seorang raja atau ulama. Maka menulislah!"

Iya, kan?

Jombang, 11 Juli 2017

 

Senin, 16 Januari 2017

Beginilah Sosok Gus Dur di Mata Hisanori Kato, Profesor asal Jepang


PROFESOR Hisanori Kato, dari Chuo University Jepang, menegaskan, bahwa negeri sebesar Indonesia sebenarnya sangat berutang budi kepada (almarhum) KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Itu diutarakan saat ngobrol pintar atau ngopi di Griya Gusdurian, Gendeng, Yogyakarta, Sabtu (31/12/2016).

Di hadapan ratusan anak-anak Gusdurian, Kato menuturkan kisah-kisah pertemuannya dengan Gus Dur. Penulis buku Islam di Mata Jepang tersebut juga memaparkan pandangannya mengenai Islam menurut persepsi orang Jepang.

Pengalaman tinggal di Indonesia selama tiga tahun dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh muslim Indonesia, membuat Kato memiliki penilaian khusus terhadap Gus Dur, dari pemikiran hingga sepak terjangnya, selama hidup layak dikaji dan dihidupkan kembali serta diteladani para generasi muda.

Saat bertemu Gus Dur, Kato tak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap mantan Presiden RI ke 4 tersebut.

"Gus Dur itu sosok bijak dan tidak sombong. Sangat menghargai siapapun. Sulit menemukan sosok seperti Gus Dur," pujinya.

"Meski hari ini Gus Dur tidak lagi bersama kita secara fisik. Namun, soal pemikiran dan sepak terjang beliau dalam membumikan Islam damai senantiasa hadir di masyarakat Indonesia. Tentu saja, Gus Dur pasti akan senang bila menyaksikannya," ungkap Kato.

Menurutnya, kehadiran Gus Dur bukan semata-mata pemberi oase di dalam memaknai Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kebersamaan dan perdamaian. Namun, juga sebagai sikap untuk memuliakan sesama.

"Gus Dur sangat menghargai siapapun, dari kelompok manapun, tanpa melihat suku, bahasa maupun agama," nilai Kato.

Tentu, sikap Gus Dur seperti itu sangatlah dibutuhkan bila melihat keberagaman Indonesia saat ini, tegasnya.
Secara khusus, Kato menyatakan kekagumannya terhadap Indonesia dan pengalamannya tinggal di Indonesia dituliskan di dalam buku Kangen Indonesia : Indonesia di Mata Orang Jepang.

Menurutnya, Islam di Indonesia itu seharusnya membawa pesan damai. Pemikiran seperti itu ditunjukkan Gus Dur kepada siapapun.

"Sehingga, saya merasa bersedih saat mendengarkan Gus Dur tiada," kisah Kato.
Kekaguman kato terhadap Gus Dur tidak semata atas pola sikapnya yang santun. Namun, juga tentang kemampuan daya nalarnya.

"Saya dibuat kagum saat mendengarkan Gus Dur mampu menghafal banyak nomor telepon di luar kepala. Setelah bertemu, ternyata kemampuan itu benar-benar dimilikinya," ungkapnya.

Di akhir acara yang sekaligus bertepatan dengan momentum perayaan haul ketujuh Gus Dur, Kato tak memungkiri bila anak-anak muda perlu mengkaji nilai-nilai keagamaan, terutama yang diperkenalkan Gus Dur di Indonesia.

Bagi Kato, Indonesia itu penuh keberagaman suku, agama dan budaya serta menjadi negeri yang indah dan perlu dijaga oleh generasi muda. Siapkah kalian menjaga Indonesia?

# Reportase Fendi Chovi
    Dimuat di Tribunnews Grup

Begini Cara Mudah Menulis Esai ala Muhidin M Dahlan


SEJUMLAH anak muda hadir menikmati peluncuran buku, pembacaan karya, diskusi, serta pameran buku indie, dengan deretan buku-buku terpajang rapi sekaligus memanjakan mata para pengunjung di Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta, Jumat (30/12/2016).

Muhidin M Dahlan, pegiat literasi sekaligus pendiri Radio Buku di Yogyakarta berbagi pengalaman tentang prinsip dasar seputar penulisan esai.

Menurut lelaki yang malang melintang di jagad literasi tersebut, menulis esai seharusnya dilakukan mirip seperti menulis status di media sosial. 

"Coba perhatikan hal-hal sederhana di samping, kanan, kiri, lingkungan kita. Temukan sesuatu yang unik. Bisa benda-benda tak bernyawa ataupun bernyawa, lalu belajarlah mengomentari benda-benda tersebut," tuturnya kepada peserta.

Lanjut Muhidin, bila benda-benda tersebut dikomentari dengan penghayatan sekaligus kepekaan artistik disertai kejujuran untuk menuliskannya, maka hasilnya pasti luar biasa. Tak tertebak dan dipastikan menarik minat publik.

"Bila benda-benda tersebut dituliskan, jangan lupa disertai foto dan share ke media sosial dan lakukan secara rutin. Lama-lama, ide-ide kalian akan terbaca publik dan akan mendatangkan para pembaca," ujarnya.

Menurutnya, menulis esai semacam itu tidak salah. Sebab, banyak tipe menulis esai.

Muhidin menambahkan, bila menulis esai usahakan untuk melahirkan gagasan agar mampu memancing reaksi publik.

"Tulislah apa saja. Sebagai tahap menemukan pembaca kalian. Bisa saja belajar berkomentar dengan membuat tip tertentu. Susunlah gagasan dalam bentuk kronologis kejadian dan peristiwa semenarik mungkin," tegasnya.

Menurut Muhidin, tak ada cara terbaik dalam menulis kecuali rajin membaca, rajin menulis, latihan secara rutin dengan tujuan mencapai kematangan dalam mengemas gagasan.

Muhidin menyinggung sekilas pengertian esai berdasarkan buku yang ditulisnya, Inilah Esai : Tangkas Menulis Bersama Pesohor.

"Di buku tersebut, saya mengutip pendapat bapak esai Michel de Montaigne (1533_1592), saat menerbitkan esai pertamanya di abad ke 15. Di luar definisi itu, saya sepakat bila esai adalah suatu gaya menulis yang bukan-bukan," sebut Muhidin sekaligus menegaskan bila pernyataan tersebut terinspirasi dari Cak Nun dan celotehan Gus Dur.

"Esai disebut tulisan yang bukan-bukan, bila mengutip Mointaigne, yaitu semacam ekspresi bahwa esai adalah cerminan, meditasi, dan percobaan yang diekpresikan secara licin dengan bahasa yang lentur," ungkapnya.

Di buku itu, imbuhnya, sejumlah tokoh dan esais-esais terkemuka, mendapat ruang untuk menjelaskan tentang pendefinisian apa itu esai. "Maka, tak ada salahnya bila apa yang saya sampaikan dipraktikkan secara rutin," pinta Muhidin kepada peserta.

Bila demikian adanya, lanjut Muhidin, mari menulis esai dengan topik dan bahasan yang disukai, buatlah esai seperti kalian menulis status di media sosial. Share ke publik dan temukan pembaca kalian.

Tulisan ini dimuat di Tribunnews.com atau di Harian Surya Jawa Timur link tulisan dibaca di sini