Senin, 10 Juli 2017

Suatu hari bersama Aan Anshori

 


SAAT tiba di Klenteng Hong San Kiong, di Gudo, Jombang pada acara "Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas"  yang akan berlangsung selama tiga hari.

Peserta yang datang baru dua orang. Aku termasuk peserta kedua yang menginjakkan kaki di Klenteng (yang katanya telah) berusia ratusan tahun ini.

Di sana, aku berjumpa dengan Aan Anshori, salah satu fasilitator dalam kegiatan ini. Kami ngobrol bertiga sambil menunggu peserta lain datang. Topik yang kami bicarakan mengenai internet.

"Kamu suka nulis, kan?" tanya Aan Anshori.

"Soalnya, aku sempat menemukan beberapa tulisanmu dan namamu di internet," tuturnya kepadaku.

Aku sangat senang dan tersenyum mendengar ada orang menemukan tulisanku di internet. Telingaku seolah melebar sedikit sebagai ekpresi rasa bahagia.

Percakapan dengan Aan dilanjutkan saat kami sama-sama berjalan kaki menuju ke salah satu rumah pendeta yang tidak jauh dari Klenteng untuk acara wellcome Dinner dan ramah tamah.

Aku berjalan di samping Aan. Kami ngobrol kembali. Di sela-sela obrolan itu, Aan menyisipkan sepotong kalimat motivasi tentang manfaat kebiasaan menulis.

"Menulislah karena itu sangatlah penting sebagai sarana untuk aktualisasi diri, pas upload ke internet," ujarnya.

Aan menegaskan bahwa kebiasaan menulis itu menjadikan diri kita mudah untuk saling terkoneksi satu sama lain, terutama anak-anak muda yang juga menyukai budaya literasi ini.

"Saat kita memiliki gagasan yang sangat berharga dan itu penting untuk diketahui publik. Tulislah !" Ujarnya, sambil berjalan.

"Dan ini perlu diingat, saat nama belakangmu tidak membawa sosok nama besar, seperti Wahid, maka menulislah!" kata Aan.

Siapa itu Wahid? Yaitu nama belakang Kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Nasihat yang diungkapkan Aan Anshori itu, sebenarnya juga ditegaskan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.

"Jika kamu tidak terlahir sebagai putera seorang raja atau ulama. Maka menulislah!"

Iya, kan?

Jombang, 11 Juli 2017