SAAT tiba di Klenteng Hong San
Kiong, di Gudo, Jombang pada acara "Training Penggerak Perdamaian dan
Keragaman Berbasis Komunitas" yang
akan berlangsung selama tiga hari.
Peserta yang datang baru dua orang.
Aku termasuk peserta kedua yang menginjakkan kaki di Klenteng (yang katanya telah) berusia ratusan tahun ini.
Di sana, aku berjumpa dengan Aan
Anshori, salah satu fasilitator dalam kegiatan ini. Kami ngobrol bertiga sambil
menunggu peserta lain datang. Topik yang kami bicarakan mengenai internet.
"Kamu suka nulis, kan?"
tanya Aan Anshori.
"Soalnya, aku sempat menemukan
beberapa tulisanmu dan namamu di internet," tuturnya kepadaku.
Aku sangat senang dan tersenyum mendengar
ada orang menemukan tulisanku di internet. Telingaku seolah melebar sedikit
sebagai ekpresi rasa bahagia.
Percakapan dengan Aan dilanjutkan
saat kami sama-sama berjalan kaki menuju ke salah satu rumah pendeta yang tidak
jauh dari Klenteng untuk acara wellcome Dinner dan ramah tamah.
Aku berjalan di samping Aan. Kami
ngobrol kembali. Di sela-sela obrolan itu, Aan menyisipkan sepotong kalimat
motivasi tentang manfaat kebiasaan menulis.
"Menulislah karena itu
sangatlah penting sebagai sarana untuk aktualisasi diri, pas upload ke internet," ujarnya.
Aan menegaskan bahwa kebiasaan
menulis itu menjadikan diri kita mudah untuk saling terkoneksi satu sama lain,
terutama anak-anak muda yang juga menyukai budaya literasi ini.
"Saat kita memiliki gagasan
yang sangat berharga dan itu penting untuk diketahui publik. Tulislah !"
Ujarnya, sambil berjalan.
"Dan ini perlu diingat, saat
nama belakangmu tidak membawa sosok nama besar, seperti Wahid, maka
menulislah!" kata Aan.
Siapa itu Wahid? Yaitu nama
belakang Kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Nasihat yang diungkapkan Aan
Anshori itu, sebenarnya juga ditegaskan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.
"Jika kamu tidak terlahir
sebagai putera seorang raja atau ulama. Maka menulislah!"
Iya, kan?
Jombang, 11 Juli 2017