“Iya. Aku sangat mencintaimu dan kamu layak
mendapatkan cinta ini setulus-tulusnya,” ujar si lelaki menanggapi pertanyaan
si gadis.
“Lalu, bagaimana kita harus menjalani hubungan
ini? Akankah kita lebih serius atau hanya jadi pembelajaran untuk saling
mencintai tanpa harus ada status?” tanya si gadis lagi.
Lelaki itu merenung sejenak dan menatap wajah si
gadis. Ia tersenyum. Menunjukkan harapan dan kesungguhan sebagai seorang
lelaki.
“Baiklah. Kita jalani ini sebagai proses untuk
saling mencintai. Saling memberikan dukungan untuk saling berbagi,” jawab si
lelaki.
“Kenapa bisa begitu? Apakah kita menjalani
hubungan ini sebatas pembelajaran?”
“Bukan. Kita sebenarnya sudah teringat semangat
untuk saling menjaga hati. Saling menjaga kesetiaan layaknya sepasang kekasih
yang akan lebih banyak memadu kasih dan sayang,” ungkap si lelaki memberikan
jawaban.
Belum sempat si gadis menanggapi kata-katanya,
lelaki itu bertanya, “Tahukah kau, kenapa kita hanya boleh belajar saling
mencintai dan tidak boleh terikat status pacaran?”
Gadis itu terdiam. Pertanyaan si lelaki
seketika mengusik batinnya.
“Tak lain, kita bermaksud untuk saling mengenal
dan saling melengkapi. Kita belajar untuk benar-benar saling mencintai,” ungkap
si lelaki itu kembali.
Gadis itu masih tak menjawab.
“Sadarkah kau jika sekarang kita berbeda
provinsi, terpisah laut dan batas-batas kabupaten, kecamatan hingga jajaran
rumah di RT atau RW?”
Gadis itu ingin memotong pembicaraan si lelaki,
tapi urung ia lakukan. Ia tidak ingin menyakiti hati lelaki itu.
“Memiliki kekasih dan menjalin hubungan dengan
seseorang yang berbeda provinsi memang harus dipikirkan matang-matang. Terlebih
saat kita benar-benar terlanjur untuk saling mencintai,” tegas si lelaki.
“Adakah sesuatu yang kautakutkan dari hubungan
kita?” Gadis itu akhirnya berani bertanya. Ia ingin tahu maksud dari pernyataan
lelaki itu.
“Bayangkan bila nanti kita menikah dan mengundang
sanak keluarga masing-masing. Sanggupkah kita membeli tiket pesawat terbang
untuk mereka? Hal itu kita lakukan supaya mereka lebih tenang sekadar menempuh
perjalanan jarak jauh,” kata si lelaki berargumen.
“Relakah kita jika orang tua kita naik bus AKAP
atau kereta api, atau perjalanan laut yang kadang memabukkan penumpang?” ungkap
si lelaki lagi.
Si gadis mulai cemas. Dalam bayangannya, antara
provinsi Jawa Timur dengan Jawa Barat cukup jauh. Si gadis juga terbayang
perjalanan dari Jawa menuju Kalimantan, tempat orang tuanya tinggal. Tentu hal
itu jauh berbeda dibandingkan jarak satu RT ke RT lain yang hanya membutuhkan
waktu sebentar saja.
“Bayangkan itu. Jika kita tidak memikirkan bahwa
mencintai terkadang tidaklah cukup untuk cita-cita dua anak yang saling
mencintai. Tetapi, mencintai juga melibatkan kedua orang tua masing-masing,”
kata si lelaki.
“Cukup!” sanggah gadis itu.
Mereka mendadak bisu. Menyiapkan segala keperluan
dan segala yang mendukung cita-cita keduanya memang perlu pemikiran matang.
“Baiklah, aku pikir sampean lelaki bertanggung
jawab dan bisa menjagaku juga kelak. Bantulah aku untuk terus-menerus belajar
mencintaimu. Menetapkan dirimu sebagai lelaki baik. Setidaknya untuk saat ini,”
kata gadis itu.
Mencintai berbeda provinsi bukan halangan mereka
untuk saling menyatu. Bukan rintangan untuk memisahkan komitmen si gadis dan si
lelaki. Bukan alasan untuk berhenti mencintai. Keduanya dapat saling mengenal
bahasa, adat, budaya, bahkan ragam kuliner. Mereka juga bisa belajar
mempersiapkan jenis-jenis perayaan menyambut mantenan. Jenis-jenis baju adat,
juga tata cara menghormati orang tua masing-masing.
Gadis itu melempar senyum dan berkata, “Aku ingin
kita belajar saling mencintai, Mas.”
Si lelaki menatap si gadis agak lama.
Membayangkan mereka kelak menjadi keluarga paling bahagia di muka bumi ini.
Fendi Chovi, Blogger
Dimuat di situs Jombloo.co
0 komentar:
Posting Komentar