Selasa, 20 Desember 2016

Berbeda Provinsi Bukan Alasan untuk Berhenti Mencintai

“Apakah engkau mencintaiku?” tanya gadis itu, suatu hari saat pertemuan mereka yang pertama.

“Iya. Aku sangat mencintaimu dan kamu layak mendapatkan cinta ini setulus-tulusnya,” ujar si lelaki menanggapi pertanyaan si gadis.

“Lalu, bagaimana kita harus menjalani hubungan ini? Akankah kita lebih serius atau hanya jadi pembelajaran untuk saling mencintai tanpa harus ada status?” tanya si gadis lagi.

Lelaki itu merenung sejenak dan menatap wajah si gadis. Ia tersenyum. Menunjukkan harapan dan kesungguhan sebagai seorang lelaki.

“Baiklah. Kita jalani ini sebagai proses untuk saling mencintai. Saling memberikan dukungan untuk saling berbagi,” jawab si lelaki.

“Kenapa bisa begitu? Apakah kita menjalani hubungan ini sebatas pembelajaran?”

“Bukan. Kita sebenarnya sudah teringat semangat untuk saling menjaga hati. Saling menjaga kesetiaan layaknya sepasang kekasih yang akan lebih banyak memadu kasih dan sayang,” ungkap si lelaki memberikan jawaban.

Belum sempat si gadis menanggapi kata-katanya, lelaki itu bertanya, “Tahukah kau, kenapa kita hanya boleh belajar saling mencintai dan tidak boleh terikat status pacaran?”

Gadis  itu terdiam. Pertanyaan si lelaki seketika mengusik batinnya.

“Tak lain, kita bermaksud untuk saling mengenal dan saling melengkapi. Kita belajar untuk benar-benar saling mencintai,” ungkap si lelaki itu kembali.
Gadis itu masih tak menjawab.

“Sadarkah kau jika sekarang kita berbeda provinsi, terpisah laut dan batas-batas kabupaten, kecamatan hingga jajaran rumah di RT atau RW?”

Gadis itu ingin memotong pembicaraan si lelaki, tapi urung ia lakukan. Ia tidak ingin menyakiti hati lelaki itu.

“Memiliki kekasih dan menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda provinsi memang harus dipikirkan matang-matang. Terlebih saat kita benar-benar terlanjur untuk saling mencintai,” tegas si lelaki.

“Adakah sesuatu yang kautakutkan dari hubungan kita?” Gadis itu akhirnya berani bertanya. Ia ingin tahu maksud dari pernyataan lelaki itu.

“Bayangkan bila nanti kita menikah dan mengundang sanak keluarga masing-masing. Sanggupkah kita membeli tiket pesawat terbang untuk mereka? Hal itu kita lakukan supaya mereka lebih tenang sekadar menempuh perjalanan jarak jauh,” kata si lelaki berargumen.

“Relakah kita jika orang tua kita naik bus AKAP atau kereta api, atau perjalanan laut yang kadang memabukkan penumpang?” ungkap si lelaki lagi.

Si gadis mulai cemas. Dalam bayangannya, antara provinsi Jawa Timur dengan Jawa Barat cukup jauh. Si gadis juga terbayang perjalanan dari Jawa menuju Kalimantan, tempat orang tuanya tinggal. Tentu hal itu jauh berbeda dibandingkan jarak satu RT ke RT lain yang hanya membutuhkan waktu sebentar saja.

“Bayangkan itu. Jika kita tidak memikirkan bahwa mencintai terkadang tidaklah cukup untuk cita-cita dua anak yang saling mencintai. Tetapi, mencintai juga melibatkan kedua orang tua masing-masing,” kata si lelaki.

“Cukup!” sanggah gadis itu.

Mereka mendadak bisu. Menyiapkan segala keperluan dan segala yang mendukung cita-cita keduanya memang perlu pemikiran matang.

“Baiklah, aku pikir sampean lelaki bertanggung jawab dan bisa menjagaku juga kelak. Bantulah aku untuk terus-menerus belajar mencintaimu. Menetapkan dirimu sebagai lelaki baik. Setidaknya untuk saat ini,” kata gadis itu.

Mencintai berbeda provinsi bukan halangan mereka untuk saling menyatu. Bukan rintangan untuk memisahkan komitmen si gadis dan si lelaki. Bukan alasan untuk berhenti mencintai. Keduanya dapat saling mengenal bahasa, adat, budaya, bahkan ragam kuliner. Mereka juga bisa belajar mempersiapkan jenis-jenis perayaan menyambut mantenan. Jenis-jenis baju adat, juga tata cara menghormati orang tua masing-masing.

Gadis itu melempar senyum dan berkata, “Aku ingin kita belajar saling mencintai, Mas.”

Si lelaki menatap si gadis agak lama. Membayangkan mereka kelak menjadi keluarga paling bahagia di muka bumi ini.

Fendi Chovi, Blogger
Dimuat di situs Jombloo.co 

0 komentar:

Posting Komentar