Pada suatu malam yang tengah kosong kegiatan. Temanku
dari Ciamis yang belum lama tiba di kos sebagai anak baru mengajakku berkunjung
ke lokasi-lokasi wisata. Ingin menikmati suasana baru, katanya. Aku mengajaknya
ke Bukit Bintang. Selain penasaran dengan berbagai ulasan menarik terkait
tempat tersebut, aku ingin sekali menyaksikan suasana di atas bukit yang
katanya menjanjikan romantisme.
Malam itu kami berangkat menaiki sepeda motor. Menyusuri
jalan di Wonosori, sesekali memasang mata ke kiri dan kanan jalan. Siapa tahu
ada bidadari nyasar di Jogjakarta ini.
Sesampai di lokasi, ternyata suasana wisata sudah ramai
oleh anak-anak muda. Mereka terlihat asyik ber-selfie. Perjalanan dengan
mengendarai sepeda motor dari kos ke Bukit Bintang cukup menguras energi. Kami
pun langsung memutuskan untuk makan malam.
Bukit Bintang. Wisata yang satu ini sudah dikenal luas di
Jogjakarta. Kita bisa menyaksikan kota Jogja dan gemerlap cahaya, serasa
berdiri di atas bintang-bintang jika melihat ke bawah dari ketinggian. Hamparan
cahaya lampu tampak indah dan cantik di malam hari dari atas bukit ini.
Ngobrol dan menikmati suasana di Bukit Bintang. Di sini
para pengunjung tidak hanya disuguhi pemandangan yang mengesankan. Berbagai
warung makan berjejer, para pengunjung bisa mememesan makanan dan minuman
dengan harga bervariasi. Kopi, jagung bakar, atau mi rebus. Bersama teman,
pacar, atau keluarga menatap gemerlapnya lampu-lampu di kejauhan. Indah lah
pokoknya!
“Duduk di sini mengingatkanku pada masa-masa muda, Mas,”
kata temanku.
“Aku kira ada benarnya, Mas. Duduk di sini apalagi jika
mengajak pasangan, barangkali akan membuat kita menjadi manusia paling
romantis. Kita bisa menunjukkan kepada kekasih. Hamparan lampu-lampu dibawah
sana. Seolah-olah kita menyaksikan bintang-bintang di langit,” kataku
menimpali.
Mular, begitu nama temanku ini. Ia sudah memiliki istri
dan dua anak, sedangkan aku sendiri masih berstatus lajang. Tak masalah, justru
itu kesempatan besar bagiku untuk menikmati kebebasan.
Menikmati hidangan bakso dan ice juice. Kami
bercerita panjang lebar tentang apa saja yang menarik bagi kami. Tak sungkan
aku bertanya seputar awal perkenalan dan perjumpaannya bersama istri.
Ia menatap ke hamparan cahaya di kejauhan dari arah
ketinggian bukit bintang ini. Menghela napas. Kemudian bercerita tentang
kenangannya saat awal-awal PDKT dengan si istri.
“Saat aku masih jomblo, Mas. Aku pernah bekerja sebagai
pelayan di sebuah restoran. Gajiku lumayan sih saat itu,” ujarnya.
Pertemuan itu bermula saat Mular berkunjung ke sebuah
restoran. Di sana ia bertemu dengan perempuan yang menurutnya sangat menarik
perhatiannya. Mular menyebutkan jika gadis itu tidak seperti beberapa perempuan
yang selama ini dikenalnya.
Sejak kejadian itu, Mular jadi sering bertandang ke
restoran tempat gadis itu bekerja, dengan harapan si gadis tersebut membawakan
hidangan menu makanan yang dipesannya. Tak disangka, gadis itu benar-benar
mengantarkan hidangan yang dipesan. Sayangnya, ia tidak merespons sama sekali
apa yang ditanyakan oleh Mular. Mungkin karena pertanyaan Mular hanya seputar,
boleh kenalan, boleh minta nomor HP, dan pertanyaan basa-basi lainnya.
Si gadis tidak merespons dan berlalu begitu saja ketika
selesai mengantar pesanan.
“Sebagai jomblo militan, aku merasa ditantang dengan
keadaan seperti itu. Aku penasaran, Mas. Jadi setiap malam, aku bertandang ke
tempat gadis itu bekerja. Membeli segala jenis makanan yang ada di restoran itu.
Bahkan, tak jarang aku menghabiskan Rp100.000 lebih untuk sekali makan.”
“Gajiku saat itu cukup banyak sih. Apalagi, aku kan masih
jomblo. Jadi cukuplah sekadar makan di restoran itu,” tukas Mular.
“Sebagai jomblo militan, aku tidak kalah siasat. Saat
gadis pelayan restoran itu semakin sulit diajak berdiskusi, aku diam-diam
memiliki ide baru.”
“Aku meminta nomor gadis itu kepada pelayan lainnya.
Mbak, boleh dong saya dikasih nomor HP teman sampeyan yang itu,” kata
Mular sambil terkekeh.
“Aku berkata seperti itu sambil memberikan uang seadanya
sebagai ongkos kepada si teman gadis itu, lho?”
“Tak disangka, ternyata nomor gadis itu kudapatkan. Ya,
saat itulah, kami berkenalan dan niatku saat itu bukan lagi berpacaran. Tapi
langsung menikah.”
“Kutembak gadis itu dengan pertanyaan begini, maukah
engkau jadi istriku?” kata Mular agak malu-malu.
Si gadis agak malu-malu dan kemudian menjawab, “Iya,
boleh Mas. Silakan minta kepada orang tuaku.”
Sebagai jomblo militan dan pernah kesepian, Mular pun
langsung menyiapkan diri menemui bapak gadis itu. “Tahukah berapa hari untuk
mendekati gadis itu, Mas?” tanya Mular kepadaku.
Aku menggelengkan kepala.
“Serius hampir sebulan lho, Mas. Tak ada tanda-tanda
kalau gadis itu tertarik padaku. Atau jangan-jangan ia sedang menguji cinta dan
keseriusanku,” ungkap Mular serius.
“Beruntungnya sih, aku tercatat sebagai jomblo militan
dan akhirnya Tuhan mengabulkan doaku. Kami pun menikah,” ungkap Mular.
“Terus, bagaimana dengan Mas sendiri?”
Gerimis tiba-tiba turun. Aku terdiam. Aku tak mampu
berkata-kata. Tak ada cerita, pun tak ada sesuatu yang layak diceritakan. Dalam
hati, aku berkata, “Maaf, Mas. Aku belum memiliki perempuan yang bisa diceritakan panjang
lebar.”
Kalau saja Bang Mular tahu. Selain jadi kawan, kesepian
itu lebih sering jadi lawanku. Setidaknya untuk sekarang, aku tak mampus
dikoyak-koyak sepi.
Ditulis oleh Fendi Chovi
Tulisan
ini dimuat Jombloo.co (02/12/2016)
0 komentar:
Posting Komentar