Senin, 14 Desember 2020

Refleksi Para Pemuda di Kota Santri & Kota Intoleransi

Saat membaca buku berjudul Kota Santri, Kota In(toleransi) karya Reflektif Terpilih Anak Muda Lintas Iman.

Saya sedikit penasaran, kenapa ada frase kota santri disandingkan dengan kota intoleransi.  Apa yang dibahas dan digagas dibuku ini?

Sebenarnya, apa yang salah dari kota santri ini, sehingga ditulis dan diberi label sebagai daerah yang kurang aman, serta tidak ramah bagi penganut agama dengan keyakinan yang berbeda dengan penamaan kota In(toleransi).

Inilah refleksi pengalaman dan pemikiran sejumlah anak muda yang dituangkan dalam sebuah buku. Hasil tulisan dari para peserta yang mengikuti Interfaith Youth Camp oleh GKI Klassis Bojonegoro dan Gusdurian Jombang. 

Sayangnya, buku ini dicetak terbatas dan belum dijual di toko-toko buku. Uniknya, buku ini juga tidak disertai dengan tahun penerbitan dan nama penerbit. Namun, pembaca disuguhkan daftar isi dan judul tulisan disertai dengan nama-nama penulisnya. 

Nama-nama penulis buku ini adalah anak-anak muda berasal dari berbagai daerah dan institusi pendidikan. Tentu mereka adalah anak-anak muda yang mempuni, potensial dan layak diperhatikan.


Cover buku peserta Interfaith Youth Camp




Daftar Isi Buku

Seperti disampaikan Aan Anshori, salah seorang pemantik dalam acara ini dan sekaligus tulisannya menjadi pembuka dalam buku ini dengan judul Menjemput Keabadian.

Aan, begitu pria ini kerapkali disebut dan dipanggil teman-temannya, merupakan penggerak diskusi lintas iman yang cukup militan dan dikenal luas di Jawa Timur. 

Dia mengajak anak-anak muda, duduk dalam satu forum lalu memberi wawasan perihal keragaman dan isu-isu intoleransi yang kerapkali mencuat di berbagai daerah dan seringkali mencabik - cabik makna keragaman bangsa atas nama agama.

Judul - judul yang dipilih dalam buku ini menggambarkan, jika dia lebih percaya bahwa pengalaman yang ditulis nantinya bisa menjadi sumber terdasyat untuk membentuk peradaban manusia.

Maka, inilah sebabnya para peserta diminta menuliskan pengalaman - pengalaman itu lalu dijadikan buku antologi bersama.

Membaca judul-judul tulisan di buku ini kita bisa bercermin sejenak, melihat potensi konflik dan hal-hal lain tentang diri kita sendiri di tengah komunitas masyarakat beragam yang berbeda-beda di negeri ini.


Aan berharap agar semua peserta menulis kisah itu dan dipastikan mereka akan abadi dengan tulisannya itu. Selaras dengan apa yang dia kutip dari komentar sosok bernama Pramoedya Ananta Toer,  Menulis adalah kerja keabadian 

Di buku ini, terdapat tulisan yang menggugah dalam bentuk refleksi, yakni pengakuan salah satu peserta dalam acara ini yang awalnya khawatir bila agenda ini hanya debat teologis yang monoton dan faktanya ternyata di luar dugaannya. 

Setidaknya, Kemah Perdamaian yang diikutinya ini lebih pada kesempatan membuka cara berpikir baru melihat keragaman budaya dan penganut agama lain dengan kepercayaan berbeda yang hidup di sekitar kita.

Menariknya lagi, para peserta dibekali pengetahuan tambahan, yakni menikmati tour ke beberapa komunitas keagamaan yang ada di Jombang.


Pertemuan para pemuda dengan keyakinan berbeda ini tentu layak diapresiasi. Terlebih, mereka berani untuk duduk bersama dan tinggal bersama meski durasinya agak singkat tanpa memandang sekat-sekat yang selama ini agak tabu dibicarakan, yaitu agama yang berbeda.


Pertemuan itu tentu saja, hanya akan berakhir di forum-forum diskusi semata. Andai mereka tak menuliskannya dan mencetaknya menjadi sebuah buku. Benar kata Aan Anshori, mereka akan abadi dengan tulisannya.

Sayangnya, buku itu dicetak terbatas. Dan kamu yang penasaran kenapa buku ini menggandeng frase : Kota Santri, Kota Intoleransi. 

Silakan, Temukan jawabannya dibuku ini. 

Ditulis Fendi Chovi

(Ditulis untuk tanda persahabatan dan renungan)





 


 


0 komentar:

Posting Komentar