BAGAIMANA bila seorang santri mulai jatuh cinta dan memikirkan pernikahan ketika masih dalam proses belajar di pondok pesantren? Adakah cara untuk menenangkan batin mereka atau sekadar menjadi pengobat rasa hingga pembelajaran di pesantren tuntas dijalani?
INILAH yang ingin disampaikan buku "Santri
Menikah, Jomblo Punah" karya Anifa Hambali. Pada pembukaan buku ini, Anifa
menyajikan sajak berjudul Menjadi Santri. Berikut potongan sajak itu. Belajar
menahan diri dari nafsu duniawi/ Seorang santri harus terus belajar/
Bermetamorfosa diri menjadi kupu-kupu yang indah/ Menjadi orang yang bermanfaat
untuk agama dan tanah airnya.
Anifa
menuliskan bahwa sosok santri adalah insan yang dibebani tanggung jawab dan
tugas untuk belajar, berproses menuju pribadi yang berilmu, dan berakhlak
sehingga nanti kembali ke masyarakat dengan bekal keilmuan yang mumpuni.
Buku 189 halaman ini memuat 19 judul mengenai
kehidupan santri, tips, dan trik menuju pernikahan dan tantangan yang mesti
dihadapi para santri agar lebih berdaya saing. Di bab Santri Milenial, Anifa
mengulas bagaimana seharusnya santri menempatkan diri agar menjadi sosok ideal
demi meraih masa depan. Menjadi santri itu jangan disia-siakan. Banyaknya
kesempatan belajar yang ditawarkan di pesantren seperti mempelajari ilmu agama
dan ilmu dunia. Menjadikan kapasitas santri semakin ideal.
Terlebih, pada 2020, Indonesia akan mendapatkan bonus
demografi, yaitu 50 persen penduduknya akan berada di usia produktif (16–64).
Itulah yang disebut Indonesia Emas (hlm. 5). Tanggung jawab santri harus giat
belajar agar tercipta santri dengan kapasitas keilmuan yang lebih memadai.
Perubahan yang baik itu pun nantinya akan mendekatkan pada pencarian jodoh.
Penulis yang pernah mendapat award sebagai Santri
Preneur 2017 di bidang usaha kreatif ini menguraikan bab Jomlo ala Santri
tentang bagaimana seharusnya seseorang memahami status jomlo itu sebagai proses
memahami sirkulasi kehidupan. Status jomlo identik dengan perilaku yang akan
berhadapan cibiran dan sindiran. Bahkan, karena malu para jomlo itu menyebut
diri mereka dengan kata single bukan jomlo untuk mencari dalih pembenaran
kesendirian.
Anifa memperjelas arti dua kata itu. Single dan jomlo
itu sama saja. Jomlo (adjective) dalam English Dictionary termasuk bahasa slang
anak muda Indonesia sebagai status sendiri, belum menikah dan bujang yang
memiliki arti sama dengan single (adj). Kata single di dalam kamus bahasa
Inggris memiliki arti ”Unmarriedor not
involved in a stable sexual relationship” intinya belum menikah dan
tidak memiliki status hubungan dengan siapa-siapa (hlm. 12).
Dengan penjelasan itu, Anifa hendak menegaskan jika
mau menyebut diri jomblo atau single itu sama saja. Tidak ada pengertian yang
menunjukkan bahwa jomblo itu nasib dan single itu pilihan dan prinsip. Meskipun
demikian, menjadi jomblo itu juga memiliki sisi kebaikan tersendiri, terutama
bagi para santri.
Anifa mengibaratkan status jomblo sebagai free travel. Artinya, masa di mana
seseorang bebas ke mana pun akan pergi, melihat dunia yang lebih luas. Menjadi
jomblo sebenarnya bonus untuk merayakan kebebasan, terutama jika masih dalam
lingkungan pesantren. Mereka yang single dipastikan lebih sering berhasil
menuntaskan hafalan dan ngajinya dengan cara husnulkhatimah (hlm. 16).
Di bab ini, Anifa juga memberikan pendefinisian
perihal beragam nama jomblo. Misalnya, jomblo mabni, jomblo mustatir, jomblo
munqathi’, jomblo rofa’, dan syibhul jomblo. Setidaknya, penamaan para
jomblo, menurut ilmu nahwu tersebut bisa dijadikan sandaran dan alasan jika
seseorang menjadi jomblo, itu tidak bisa disamaratakan sebagai jomblo ngenes
yang tidak laku. ”Padahal, banyak santri menjomblo karena memantaskan diri
untuk siap berjuang meminta putri jelita dari tangan Abah dan
Uminya,” tulis Anifa untuk menegaskan cita-cita ideal santri jomlo (hlm.
19).
Memilih Jomblo, bab ini khusus membincangkan perihal
alasan seorang santri menjadi jomblo. Mengutip cerita dalam buku KH Husein
Muhammad dengan judul yang sama dalam bab ini dijelaskan bahwa memang ada
intelektual muslim terdahulu yang memutuskan menjadi jomblo hingga akhir hayat.
Sebut saja, Imam Zamakhsyari, Ibnu Jarir Al-Thabaridll, (hlm. 25).
Penulis buku ini juga memberikan gambaran terkait
hubungan asmara muda mudi yang perlu diluruskan. Misalnya, bab Pacaran vs
Pernikahan, Anifa menyoroti perihal pacaran yang kerap kali dilakukan anak-anak
muda. Ia menjelaskan, arti pacaran hampir sama dengan ta’aruf (saling kenal).
Bedanya, ta’aruf memiliki syarat syariat dalam menjalankannya. Pacaran sering
kali memudahkan seseorang untuk menyimpang dan mendekatkan dengan zina.
Sementara ta’aruf, untuk proses saling mengenal sebelum menjadi halal, dengan
maksud agar orang diingat untuk lataqrobu zina (hlm. 35).
Lalu, apakah di pesantren juga ada hubungan
antarsantri untuk sayang menyayangi? Menurut Anifa, potret hubungan anak
pesantren lebih cenderung kepada ”kakak adik zone”, yaitu mirip dengan pacaran
syar’i. Sebuah hubungan yang sebenarnya juga membingungkan untuk dipahami dan
perlu diluruskan agar tidak menjerumuskan pada perilaku menyimpang dan kurang terpuji.
Meskipun demikian, ”kakak adik zone” ini kerap mengantarkan dua sejoli kepada
tangga hubungan halal sebagai suami istri.
Di bab Santri Menantu Idaman bisa saja merupakan bab
yang membuat baper para santri. Anifa menuliskan jika menjadi santri tidak boleh
khawatir tidak mendapatkan jodoh. Sebab, tidak sedikit orang tua bersilaturahmi
kepada kiai dengan harapan dan doa di pesantren ada lelaki yang cocok dengan
putrinya yang disarankan kiai (hlm. 82).
Di bab Cinta di Masa Depan mengajak pembaca untuk berefleksi
memahami tentang mencintai dan memiliki. Seperti yang ditulisnya, Ketika kamu
memperjuangkan cinta di masa depan, jangan hitung-hitungan untung rugi. Karena
cinta bukanlah sesuatu yang bisa dikapitalisasi. Cinta hanya bisa diukur dengan
ketulusan (hlm. 152). Sementara di bab Semua Ingin Menikah, secara khusus
membicarakan perihal menikah. Membangun rumah tangga itu tentang keberanian
untuk berkorban dan berjuang. Untuk menghadirkan kata ”kita”. Sebagaimana yang
ditulis Anifa, ”Saat kita ingin menikah, bukan lagi kata 'aku' yang
digunakan, tetapi ’kita’ bagaimana kita mempersiapkan pernikahan,” (hlm. 158).
Untuk memahami tujuan menikah, Anifa melukiskan bahwa
kata ”kita” menjadi petanda bahwa pernikahan itu dilakukan dua orang yang
saling berjanji untuk membuat komitmen menjalani hidup bersama. Ketika menjadi
”kita”, maka perjuangan menuju pernikahan ini tidak lagi memikirkan diri
sendiri, tetapi memikirkan apa yang terbaik buat berdua. Apa yang terbaik untuk
bersama di dalam keluarga itulah yang menjadi prioritas. Tidak lagi rasa ego
dalam diri (hlm. 158).
Kehidupan itu memiliki fase demi fase yang harus
dijalani dan kudu dilalui dengan dewasa dan bijaksana. Saat ini boleh saja Anda
jomblo, tapi akan tiba saatnya status itu akan diakhiri dengan pernikahan.
Santri Menikah, Jomblo Punah, judul yang tepat. Silakan dibaca!
Judul
: SANTRI NIKAH JOMBLO PUNAH
Penulis
: Anifah Hambali
Penerbit
: Belibis Pustaka
Cetakan
: ke-2, April 2019
Tebal
: 189
Presensi : Fendi Chovi
Diterbitkan di Koran Radar Madura pada 8 September 2019
0 komentar:
Posting Komentar