Selasa, 23 September 2014

Diversity Youth Camp ; Sebuah Perjumpaan Antar Hati

Pada peringatan hari International Day of Peace tanggal 21 September ini, saya berkesempatan mengikuti acara Divercity Youth Camp and ToT Conflick  Transformation : Promosi nilai-nilai perdamaian oleh pemuda lintas agama dengan cara memahami kearifan lokal serta pemanfaatan media informasi komunikasi 

Bersama sekitar 45 pemuda di berbagai kota di Jawa Timur, kami datang untuk ikut mendiskusikan tentang keberagaman dan perdamaian.

Saya membuat esai saat mengikuti kegiatan ini yang sebelumnya harus diseleksi dulu oleh Panitia dari Komunitas Staramuda (staramuda.org). 

Ya, selama tiga hari bertempat di Mahavira Mojopahit di Trowulan Mojokerto, (19-21) bersama para peserta terpilih perwakilan dari beberapa organisasi yang ada di Jawa Timur.
 
Di Depan Patung Buddha di Mahavihara Majapahit di Trowulan, Mojokerto


Mengajak Pemuda Membicarakan Perdamaian


Kegiatan mengenai perdamaian memang harus dimulai dari proses dan dialog tentang makna keberagaman yang ada di negeri Indonesia ini. Hal ini dinilai sangatlah penting dan  seharusnya menjadi tempat bagi para pemuda untuk ikut bersuara dalam hal menghargai dan mempelajari keberagaman itu sendiri. Keberagaman budaya, adat istiadat, bahasa, dan beberapa elemen lainnya hadir bukan untuk ditentang tetapi dijadikan sebagai sarana untuk saling menghargai satu dengan yang lain.

Saya kira mengajak pemuda membicarakan perdamaian sangatlah simple dan membutuhkan kegiatan berkelanjutan dengan pembelajaran berdasarkan pengalaman di lapangan. Ajaklah mereka mengenal riwayat panjang nenek moyang dan para Founding Father negeri ini ketika pertama kali bersuara tentang perlunya kemerdekaan. 

Berkunjung ke beberapa daerah, tempat tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang hidup rukun dan berdampingan serta berkunjung ke tempat rawan konflik dan menyaksikan hidup masyarakat yang menderita akibat sikap penduduknya yang tidak bisa toleran satu dengan yang lain.

Perihal pentingnya dialog untuk menghargai keberagaman dan menimimalkan terjadinya konflik yang mengakibatkan banyak korban harus segera dicari solusi alternatifnya oleh para kaum muda sebagai salah satu bagian dari kaum muda yang mencintai perdamaian.

Para peserta menikmati pembelajaran tentang keberagaman dan semangat menghargai serta cara mengatasi konflik. 

Para pemateri merupakan para pemuda yang aktif dan inten bergerak dalam hal isu-isu perdamaian di Jawa Timur maupun kegiatan yang berskala nasional seperti Gus Roy Murtadha, Gus  Aan Anshory dan mahasiswa Post Graduate yang sedang menempuh studi S3 di Tokyo bernama Romo Haspuranto serta Mutia Sari dan Zaki Habibi, dari Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada awal sesi para peserta disuruh menuliskan dua hal dalam kertas kecil yang telah disediakan dan kertas itu ditempelkan di salah satu kertas karton. Para peserta disuruh menuliskan tentang harapan dan kekhawatiran dan panitia kemudian membacakan beberapa tulisan tersebut. 

Dari tulisan tersebut saya bisa menduga harapan dan kecemasan teman-teman pada saat proses berlangsung nanti.  Beberapa yang ditulis kadang tidak banyak yang serius dan kadang terdengar agak humoris semisal : Dengan ikut acara ini, saya jadi tidak malam minggu. Juga ada yang menulis seperti ini,  Pak Panitia AC di saya mati. Dan seterusnya.

Kegiatan ini terasa padat dengan pembelajaran teknik berkomunikasi untuk menjauhi konflik dengan perumpaan dan contoh mendasar yang diintruksikan oleh panitia.  Delapan peserta disuruh maju ke depan dan satu peserta yang berdiri di paling ujung dibisikkan sebuah kalimat dan kalimat itu disampaikan kepada orang disebelahnya sampai akhirnya ke delapan orang tersebut menerima pesan tersebut. Kemudian para peserta meminta masing-masing peserta terutama peserta terakhir untuk menyebutkan kalimat yang disampaikan teman sebelahnya. 

Ajaib sekali. para peserta tersebut memberikan informasi yang salah dan kurang tepat. Dengan demikian. Satu pelajaran penting sudah didapat yaitu bahwa komunikasi yang keliru perlu diwaspadai dan kalau menerima informasi harus dicek ulang sebab pemberi informasi pertama terkadang menjadi salah ketika disampaikan oleh pihak kedua ataupun keempat dan jika tidak teliti dan mengecek ulang maka informasi itu akan berakibat fatal jika itu menyangkut kehidupan orang lain. Begitulah.

Field Trips untuk Melihat Indonesia di Masa Lalu

Para peserta juga menikmati beragam game-game dalam acara ini. Para pemateri juga begitu lihai menyampaikan materi. Sesi terakhir pada kegiatan ini adalah Field Trip ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng di Jombang, Ke GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) di Mojowarno, Mojokerto serta ke Museum Majapahit di Mojokerto. 

Pada malam perpisahan, para peserta diajak berkumpul di halaman dengan membuat lingkaran dan para kegiatan tersebut itulah, para peserta diminta untuk mewakili daerahnya masing-masing dan mereka memanfaatkan untuk menyampaikan harapan dan juga pesan-pesan kepada peserta lainnya.

Pada kunjungan ini, para peserta diajak untuk meresapi beragam nilai-nilai perjuangan yang ada dalam warisan para leluhur dan cara menghargai orang lain sebagai bentuk toleransi antar sesama. Banyak yang bisa dipelajari selama kegiatan ini, para peserta diajak berdoa bersama di makam Gus Dur seorang tokoh Pluralisme di Indonesia sambil menaburkan kembang-kembang di atas pusara tokoh besar dan juga mantan Presiden Ke-4 RI ini, kemudian para peserta juga diajak berkunjung ke Gereja Kristen Jawa Wetan (GKJW) di Mojowarno dan bertemu dengan pemimpin gereja untuk mendengarkan kearifan lokal “unduh-unduh” sebagai bagian untuk menciptakan toleransi dan keberagaman di desa Mojowarno.


Di depan Gereja Kristen Jawa Wetan Mojowarno
 
Di Depan Makam Almarhum Gusdur di Pesantren Tebuireng

           
Di dalam Museum Majapahit di Trowulan Mojokerto

           
Di dalam Museum Majapahit di Mojokerto

Kunjungan berikutnya, para peserta berkunjung ke Museum Majapahit dan beberapa candi yang ada di daerah Trowulan dan melihat beberapa sisa peninggalan sejarah kerajaan adi daya Majapahit dan bagaimana semangat toleransi di dalam beberapa bangun terlihat di museum tersebut. 

Beberapa patung dan ornament masa lalu masih tersimpan di dalam museum ini termasuk foto Ir. Henry Meclaine Pont sebagai arsitek belanda yang menjadi mediator terkumpulnya benda-benda peninggalan kerajaan majapahit dan beberapa benda-benda kuno yang ditemukan di Jawa Timur.

Kegiatan ini merupakan kerja sama antara komunitas staramuda dengan beberapa lembaga di Mojokerto serta tindak lanjut dari ToT atas prakarsa Fakultas Koumunikasi Universitas Islam Indonesia dan Berghof Foundation German.

Hal menarik dari kegiatan ini adalah upaya untuk mengajak kaum muda lebih intens mengenal satu dengan yang lain. mengajak pemuda berkenalan dengan orang-orang berbeda komunitas, berbeda pengetahuan dan juga berbeda pengalaman. Dengan demikian, maka upaya untuk mencintai keberagaman dan menciptakan kedamaian di sekitar lingkungan kita akan bisa kita tularkan kepada orang lain.


Senin, 01 September 2014

Berangkulan Meski Berbeda Keyakinan



 Bersama Peserta NYIPC

SAAT tiba di Jogja, aku melihat suasana di sekitar Terminal Bis masih berkabut pagi itu. Pagi itu juga Milhan akan menjemput dengan mobil menuju lokasi acara.

Milhan, adalah salah satu panitia dalam kegiatan National Studen Interfaith Peace Camp tahun 2014 ini.

Aku kenal Milhan sejak dia mengisi materi tentang agama kristen di acara serupa, tapi hanya skala regional Jawa Timur, yaitu pada Student Interfaith Peace Camp di Surabaya, tahun lalu.

Pria berwajah Tionghoa ini adalah mahasiswa di salah satu kampus swasta yang cukup ternama di Surabaya dan dia juga pengoleksi buku-buku novel Haruki Murakami.

Milhan tidak pelit berbagi cerita dan ilmu, dan sepanjang perjalanan di mobil menuju lokasi acara. Berbagai cerita yang disampaikan Milhan sehingga perjalanan berkabut ini tidak menjenuhkan. Suasana di sepanjang desa - desa antara Sleman dan Jogja juga mulai menampakkan gerimis.

Kedatanganku ke Jogja kali ini, untuk mengikuti pelatihan fasilitator untuk National Student Interfaith Peace Camp di Omah Jawi, salah satu kawasan dengan udara yang sejuk di Jogja.

Sebelum ke lokasi acara, ternyata para peserta diminta berkumpul di halaman Pascasarjana UGM, salah satu kampus bergengsi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Beberapa anak muda dari berbagai daerah berkumpul yang mendaftarkan diri untuk  mengikuti kegiatan ini.

Tidak ada peserta yang kukenal saat itu. Kami pun saling menyapa dengan ekpresi dan perasaan malu-malu.

Ada Siti dari Aceh, Ahmad Shalahudin dari Sulawesi, dan ada juga Tialin dari Medan dan lainnya lagi yang hanya duduk-duduk menyendiri menunggu jemputan bis.

Kami dilatih untuk menjadi fasilitator dan menghandle secara penuh sebuah kegiatan dialog interfaith di kalangan anak-anak muda, yang beberapa di antara mereka adalah mahasiswa. Mereka berbeda kota, juga keyakinan. Kegiatan ini hanya diikuti dan terdiri mahasiswa Muslim dan Nasrani.

Setelah kegiatan ini selesai, maka kami langsung menyambut peserta National Young Interfaith Student Peace Camp (NIYPC) 2014.

Mereka mahasiswa berusia belasan dan dua puluh tahun yang mendaftar mengikuti kegiatan ini. Tentu saja, banyak cerita penting dan menarik di forum ini, kalian tertarik mau tahu?

Lain waktu kita bisa ngopi bareng untuk berbgi cerita. Ditunggu undangannya, ya !

2014, Sleman