BERSAMA seorang teman, aku menikmati suasana sore
hari di Kancakona Kopi. Sebuah kedai kopi yang homy dan memiliki kesan
tersendiri untuk dijadikan tempat nongkrong di pinggiran kota Sumenep.
Cover Buku Cinta Segenggam Pasir |
Sore itu kami benar-benar menikmati aneka
obrolan menarik. Duduk bersama. Mendiskusikan banyak hal, terutama tentang
cita-cita yang kami miliki. Sebagai anak muda, diskusi kami berkaitan erat
dengan hak –hak atas hidup yang harus kami dapatkan serta kewajiban yang harus
kami penuhi.
Teman itu menyampaikan jika tantangan hidup
saat ini benar-benar membutuhkan kreatifitas dan perjuangan, terutama untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari makan minum, tiket liburan dan
tuntutan untuk hidup lebih layak.
Dengan gambaran hidup seperti itu, kita juga
memerlukan motifasi tak tertulis untuk terus berpikiran maju ke depan.
“Kira-kira apa motifasi kamu untuk hidup lebih
sukses dan rencana – rencanamu terwujudkan?” Tanya teman itu kepadaku.
“Mantan dan kenangan, “ jawabku.
Kami tertawa seketika.
“Ngga, bercanda ya,” kataku kepadanya.
“Tapi, tidak sedikit juga sih, dunia ini
dihiasi pribadi-pribadi sukses karena mantan,” ujarnya kepadaku.
“Iya, aku juga memiliki sederet teman dengan
kisah kesuksesan gegara mantan dan aku seringkali menjadi juru penasihatnya. Ha
ha ha … “
Sejujurnya, aku kerapkali mengira memiliki
mantan pacar dan kenangan itu merupakan hal buruk dan menyiksa batin untuk
diingat. Namun, ternyata tidak sedikit orang yang sukses karena termotifasi
oleh mantan kekasihnya.
Kepada teman ngobrol itu, aku berbagi cerita
jika pernah memiliki seorang teman yang nyaris hidupnya berantakan dan hancur
gara-gara putus dari pacarnya. Perempuan itu benar-benar menjadi harapannya dan
bayangan ideal untuk membangun ikatan keluarga. Sebagai lelaki, dia berusaha
agar bisa mewujudkan itu bersama-sama. Setelah mengarungi bahtera hubungan
kasih sayang selama berbulan-bulan dan hati keduanya benar-benar saling
menyayangi, ujian datang.
Dia ditunangkan atas permintaan ibu dan
neneknya. Dia bilang tidak akan menolak permintaan ibunya sebagai wujud takzim
kepada orang tua, walaupun dia beralibi jika hal itu karena terpaksa.
Temanku tentu heran sendiri. Menurutnya,
pacarnya melanggar janji dan kesepakatan yang telah dibuatnya. Temanku itu juga
tidak bisa mencegahnya, banyak alasan yang bisa disampaikan. Tapi, pertunangan
itu dan pernikahan yang sebentar lagi akan berlangsung rasanya begitu menyiksa
batinnya.
Kejadian itu benar-benar terasa menyiksa
batinnya. Ia mulai menunjukkan perilaku aneh, batinnya butuh diobati dan
dipulihkan.
Sebagai teman, aku mendatangi kosnya dan
berbagi banyak dengannya. Aku mengingat pernah membaca buku “kitab cinta dan
patah hati yang ditulis sinta yudisia, seorang penulis dari surabaya. Aku
menemukan narasi yang bisa mewakili bagaimana jika seseorang terlanjur sakit
hati karena putus cinta di buku itu.
“Teman dan waktu termasuk elemen penyembuh.
Namun, tak selamanya. Yang mampu menyembuhkan sebuah penyakit adalah tuhan dan
diri sendiri,” tulis sinta yudisia di bukunya. Penjelasan itu tersaji di
halaman 108 dan memberi gambaran jika kita kadung sakit hati, untuk
menyembuhkan luka batin itu hanya ada pada diri kita sendiri dan tuhan.
Aku memahami jika temanku yang lagi patah hati
itu benar-benar butuh teman berbicara yang mengerti tentang apa yang telah
terjadi pada dirinya. Aku mengingatkan, jika manusia sebagai hamba tinggal
berdoa kepada allah swt. Agar memberikan jalan keluar dan hatinya dilapangkan
untuk menerima kenyataan itu, dan semoga diberikan lingkaran pertemanan yang
menguatkan batin bukan menjerumuskan pada cibiran yang merendahkan.
Tapi, yang terpenting adalah diri kita sendiri
yang harus disadarkan untuk tidak bisa move on dan benar-benar siap melupakan
dan memaafkan apa yang telah terjadi. Coba, buat apa kita masih memikirkan hal yang sudah terlewati.
Lebih baik fokus pada apa yang bisa dinikmati dan dijadikan semua yang sudah
terjadi sebagai pembelajaran hidup.
Jadi, aku menyarankan kepada dia untuk tidak
menempatkan mantan sebagai penghambat untuk maju. Tempatkanlah mantan sebagai
motifasi tidak tertulis untuk kian meneguhkan perjalanan kesuksesan dalam
hidup.
Setidaknya, mantan pacarnya itu dan kenangan
demi kenangan yang pernah dilewati bersama pelan-pelan bisa dia lupakan.
Saranku cukup sederhana tapi kudu dipraktikkan agar menjadi pembeda untuk bisa
move on.
“Buatlah dia menyesal telah menjadi tidak
serius ikut memperjuangkan cinta yang pernah kamu jalani bersama,” pintaku.
Cinta itu dilahirkan bukan semata-mata untuk
mengenang sosok yang telah pergi, tapi juga mulai menghargai untuk hidup dengan
yang datang menyayangi diri kita. Cinta itu dihadirkan untuk mengenang hal-hal
terbaik yang kita miliki bersama pasangan tercinta yang setia berjalan bersama
dalam suka duka.
Teman ngobrol itu tersenyum dan dia berkata
padaku, “ seperti itulah yang seharusnya dimiliki para lelaki. Dilarang lebay
dan menjual narasi mencintai yang tidak mendidik.”
Sejujurnya, cara terbaik untuk move on dari
patah hati dan menjalin hubungan asmara dengan seseorang seharusnya dimulai
dengan mindset baru untuk memulai hidup yang lebih asyik dan lebih sukses.
Hari ini bukan lagi jamannya ketika orang
patah hati lalu bunuh diri dan stress. Hari ini adalah jaman aktualisasi diri
dan memperbaiki kehidupan yang kita miliki. Ingatlah bahwa tuhan mempercayakan
waktu yang kita miliki untuk dihargai sebagai proses penghambaan kepada-nya.
Waktu yang kita miliki harus dimanfaatkan
sebaik mungkin. Ketika kita terjebak dengan cara berpikir yang salah tentang
asmara, maka kita akan mudah terjerumus pada definisi mencintai yang mencemaskan
untuk dikenang dan diingat.
Teman ngobrolku itu bertanya,”apa yang akan
kamu lakukan jika masih ingat mantan?”
“Mengingatnya, dan berjanji kepada diriku
sendiri jika dia melihatku suatu hari nanti, dia melihatku sebagai lelaki yang
lebih sukses daripada saat bersamanya,” ujarku.
Dia tersenyum dengan jawabanku itu.
∗ Cerita ini dimuat dalam antologi buku
Cinta dan Segenggam Pasir : Antologi
Kisah seru seputar Move on dan Patah Hati 32 penulis FLP Jawa Timur tahun 2019
0 komentar:
Posting Komentar