Minggu, 14 Februari 2016

Dongeng bukan Sekadar Tradisi Lisan

TIDAK banyak masyarakat yang berpikir kritis tentang keberadaan dongeng dan menganggapnya sebatas tradisi lisan. Padahal, dongeng juga digunakan sebagai upaya melegitimasi wacana untuk mengekalkan kekuasaan dan memberikan pengaruh pada suatu simbol tertentu. 

Demikian ujar Henry Nurcahyo, budayawan, saat mengisi dan membincangkan dongeng pada diskusi Kearifan Lokal dan Rekayasa Budaya pada dialog budaya forum Budaya dan Sastra (Bias), Sumenep, Madura.

Dihelat di rumah budaya Art Galery, Sumenep, Senin, 8 Februari 2016 silam, diskusi dihadiri puluhan pecinta buku dan budaya.

Henry Nurcahyo, penulis buku dan sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur ini hadir dan menegaskan pengaruh tradisi lisan yang sudah mengakar dan ikut memengaruhi nilai kearifan lokal di tengah kehidupan masyarakat.

Menurutnya, untuk mengetahui perkembangan sejarah, sejatinya tak hanya harus melihat artefak ataupun teks, tetapi tradisi lisan yang diceritakan dan berkembang di masyarakat harus juga dilihat.

Bahkan, tak jarang pengaruh tradisi lisan pun lebih dominan dan memengaruhi cara berpikir masyarakat tentang pembenaran suatu hal yang jarang dipikirkan manusia.

“Banyak orang terhegemoni dengan peribahasa dan dongeng yang akhirnya membuat diri kita menjadi masyarakat terpinggirkan,” ujarnya di hadapan peserta.

“Buktinya, coba pikirkan, keberadaan cerita Panji yang sampai harus dibuat relief pada candi dan menjadi cerita negara di masa kejayaan Majapahit. 

Bahkan, cerita Panji pun menyebar ke negara asing. Di Thailand, cerita Panji dikenal dengan sebutan Inao dan Eynao,” jabarnya.

Henry pun menulis buku berjudul Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo dan Memahami Budaya Panji sebagai bahan diskusi. 

Kini Henry gencar mengingatkan masyarakat agar kritis saat membaca dan mendengarkan dongeng yang kadang kontennya digunakan pemerintah dalam membenarkan suatu peristiwa. 

Sehingga tak jarang dongeng di masa dahulu kerapkali digunakan serta diperalat sebagai wacana untuk mengenalkan kekuasaan para penguasa.

Fendi Chovi (Dimuat di Grup Tribunnews)





0 komentar:

Posting Komentar